Jumat, 10 Juni 2011

PENODAAN, PENGHINAAN AGAMA DAN UJARAN KEBENCIAN TERHADAP ORANG BERDASARKAN AGAMANYA


Kebebasan berekspresi dan kebebasan berpikir, menyatakan sikap sesuai hati nurani, dan beragama merupakan tonggak yang sangat mendasar dalam demokrasi. Kebebasan berekspresi tidak hanya berlaku bagi ekspresi yang dapat diterima atau yang dianggap sebagai tidak menyinggung, akan tetapi juga terhadap ekspresi yang mengejutkan, menyinggung atau mengganggu Negara atau masyarakat lainnya dalam batas-batas yang diatur di dalam Konvensi. Negara demokratik manapun harus mengizinkan debat terbuka atas hal-hal yang terkait dengan agama atau keyakinan.

Kesadaran akan pentingnya penghormatan, dan saling pengertian akan keragaman budaya dan agama memerlukan dialog terus menerus. Penghormatan dan saling pengertian dapat membantu menghindari friksi dalam masyarakat dan antara individu. Setiap orang harus dihormati terlepas dari keyakinan agamanya.

Dalam masyarakat yang multicultural perlu untuk mendamaikan kebebasan berekspresi dan kebebasan berpikir, menyatakan sikap sesuai hati nurani dan beragama. Dalam beberapa hal, perlu pula untuk membatasi kebebasan ini. Namun, pembatasan ini harus dirumuskan dalam undang-undang, perlunya dalam suatu masyarakat demokratis dan secara proporsional untuk tujuan yang hendak dicapai. Terkait dengan hal ini, Negara memiliki hak atas margin of appreciation sebagai sebuah otoritas nasional yang dapat mengambil solusi-solusi yang berbeda dengan mempertimbangkan ciri khas masyarakatnya;

Mengenai penodaan, penghinaan agama dan ujaran kebencian terhadap orang berdasarkan agamanya, Negara bertanggungjawab untuk menentukan apa yang termasuk pelanggaran pidana dalam batasan yang diterapkan dalam kasus hukum di pengadilan. Terkait dengan hal ini, penodaan, sebagai suatu bentuk penhinaan terhadap agama, tidak dapat dipandang sebagai pelanggaran pidana. Harus dibuat suatu pembedaan antara hal-hal yang terkait dengan kesadaran moral dan hal-hal yang dinilai sesuai hukum, hal-hal yang termasuk domain publik, dan hal-hal yang termasuk ruang privat. Dimana penuntutan hukum terkait hal ini masih banyak dilakukan di beberapa Negara.

Dalam suatu masyarakat demokratis, kelompok keagamaan harus toleran terhadap pernyataan kritis masyarakat dan debat tentang kegiatan kelompoknya, ajarannya dan keyakinannya, selama kritik tersebut tidak sampai pada penghinaan tanpa dasar dan dengan maksud atau suatu ujaran kebencian dan bukan merupakan hasutan untuk menggangu kedamaian publik atau untuk kekerasan dan diskriminasi terhadap penganut agama tertentu. Media debat publik, dialog dan kemampuan komunikasi yang membangung terhadap kelompok keagamaan harus dimanfaatkan untuk menurunkan tingkat sensitivitas manakala hal itu melampaui tingkat yang masih masuk akal.

Kebutuhan akan saling pengertian yang lebih dan toleransi antara individu dari agama yang berbeda menjadi titik berat yang harus diperhatikan. Dimana orang-orang dengan agama berbeda saling memahami satu sama lain tentang agama dan sensitivitas agamanya, kecil kemungkinannya terjadi penghinaan agama kecuali karena ketidakpedulian.

Berbagai inisiatif untuk mendorong komunikasi antara penganut agama yang berbeda harus didukung. Termasuk komunikasi terhadap kelompok-kelompok non-agama.

Pembatasan terhadap hak berekspresi harus dilakukan dalam lingkup yang sekecil mungkin. Hak untuk menerapkan Margin of appreciation oleh Negara tidak tak terbatas.

Pemberlakuan Hukum nasional tentang penodaan dan kejahatan agama seringkali mencerminkan posisi dominan kelompok keagamaan tertentu di suatu Negara. Namun, dalam konteks Negara yang menganut prinsip demokratik atau Negara yang memisahkan negara dan agama, ketentuan hukum penodaan agama semacam itu harus ditinjau ulang oleh Negara dan perlemen.

Mengacu pada Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Negara penandatangan harus menjamin bahwa agama tertentu tidak mendapat perlakuan istimewa atau merugikan berdasarkan Undang-Undang Penodaan agama atau pelanggaran pidana terkait.

Ujaran kebencian terhadap orang, baik dengan dasar agama atau dasar lainnya, harus dipidana menurut hukum. Dalam hal ini, suatu pidato atau ceramah yang dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian, bilamana hal itu ditujukan terhadap orang atau kelompok orang tertentu. Hukum nasional harus mempidanakan pernyataan yang menghasut agar seseorang atau kelompok orang menjadi subyek kebencian, diskriminasi atau kekerasan karena dasar agamanya.

Kebebasan beragama mencakup pula perlindungan nilai-nilai agama bagi penganutnya. Namun demikian, hak menghukum dalam ranah pelanggaran keagamaan, tidak boleh mengancam jiwa, integritas fisik, kebebasan atau hak milik seseorang. Kasus ancaman kematian yang dikeluarkan oleh seorang tokoh muslim terhadap seorang jurnalis dan penulis karena ekspresinya, sangat ditentang dan dikutuk. Negara berkewajiban melindungi seseorang dari sanksi keagamaan yang mengancam jiwa, kebebasan dan rasa aman orang tersebut. Begitu pula tidak satu Negara pun punya hak untuk menerapkan sanksi semacam itu terhadap pelanggaran keagamaan.

Berdasarkan kewajiban Konvensi, Negara harus melindungi kebebasanberagama termasuk kebebasan memanifestasikan agama. Hal ini mensyaratkan adanya perlindungan dari gangguan dari pihak lain. Namun, hak-hak ini bisa menjadi subyek pembatasan yang sah. Tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah adalah bagaimana menentukan secara seimbang antara kepentingan individu sebagai anggota komunitas keagamaan dalam menjamin penghormatan hak mereka untuk memanifestasikan agamanya atau hak atas pendidikannya, dan kepentingan umum atau hak dan kepentingan orang lain.

Sepanjang memang dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang demokratis, hukum nasional hanya dapat mempidanakan ekspresi tentang keagamaan yang secara sengaja dilakukan sehingga begitu parah mengganggu ketertiban umum dan mendorong kekerasan umum.

Oleh karena itu, Negara harus menjamin dalam hukum nasionalnya begitu pula dalam praktek:
1. menginjinkan debat terbuka tentang hal-hal yang terkait dengan agama dan keyakinan dan dalam hal ini tidak mengistimewakan agama tertentu;
2. mempidanakan pernyataan yang mendorong kebencian, diskriminasi atau kekerasan terhadap orang atau sekelompok orang dengan dasar agama atau dasar lainnya;
3. melarang tindakan yang dilakukan secara sengaja dan memiliki dampak yang begitu parah pada gangguan ketertiban umum dan mendorong pada kekerasan publik yang bernuansa keagamaan, selama itu memang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis;
4. meninjau ulang hukum nasional yang mengatur larangan penodaan agama, dalam rangka mendekriminalisasi penodaan agama sebagai suatu bentuk penghinaan agama;
5. menyusun pedoman praktis bagi kementrian pendidikan untuk meningkatkan saling pengertian dan toleransi diantara siswa yang beragama berbeda;
6. menjamin dalam hukum nasionalnya begitu pula dalam praktek, bahwa tidak ada pengistimewaan terhadap orang dari agama tertentu;
7. mendorong debat terbuka antara kelompok keagamaan yang berbeda dan dengan kelompok non-agama;
8. mengutuk atas nama Negara ancaman kematian apapun dan hasutan kekerasan yang dilakukan oleh pemimpin agama terhadap orang yang melaksanakan haknya atas kebebasan berekspresi terkait dengan hal keagamaan.

Radikal Dulu, Teroris Kemudian

Sesudah masjid dan orang yang se dang salat Jumat di Cirebon men jadi sasaran bom bunuh diri, rangkaian kecaman sama-sama ditujukan kepada sang pelaku. Tak ada pihak yang saya ketahui memahami, bersimpati, apalagi mendukungnya. Semuanya mengutuk: dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga pentolan yang oleh media massa sering disebut "Islam garis keras".

Senin (18 April 2011), koran ini melaporkan bahwa Muhammad Syarif (MS), yang diduga keras merupakan pelaku bom bunuh diri itu, memiliki hubungan dengan jaringan Aceh dan peristiwa pengeboman sejenis di tempat-tempat lain. Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dikutip menyatakan: "Kelompok bisa berbeda, tapi pasti ada tokoh di belakang kelompok yang terkait dengan jaringan induk."

Dari laporan media lain kita juga menyimak bahwa keluarga korban sudah pasti mengakui sang pelaku sebagai MS. Ayahnya, yang oleh MS pernah dituduh kafir, bersyukur bahwa MS bunuh diri, karena potensi kerusakan akibat perbuatannya di kemudian hari bisa lebih besar. Dalam kesaksiannya yang direkam televisi, sambil berlinang air mata, sang ayah meminta maaf kepada para korban dan menyatakan bahwa aksi MS membuat dia dan keluarganya sangat malu.

Di tempat lain, kita juga mendengar tokoh seperti Abu Bakar Ba'asyir mengecam pengeboman oleh MS karena korbannya orang-orang yang sedang salat. Katanya, MS "sakit jiwa". Front Pembela Islam (FPI) juga mengecam, menyatakan bahwa aksi itu "bukan jihad"dan meminta supaya aksi itu tak dikait-kaitkan dengan Islam.

Apa arti semuanya itu bagi pencegahan aksi-aksi kekerasan, apalagi terorisme, atas nama agama di masa depan? Bagi saya, pesannya jelas: jarak antara radikalisme dan terorisme itu tidak jauh-jauh amat.
Jika kita serius memberantas terorisme, awasi sungguh-sungguh radikalisme dan sadarilah bahaya-bahayanya sedini mungkin.

Berbeda tapi terkait
Radikalisme dan terorisme tentu saja berbeda. Dalam demokrasi, sejauh tak berujung pada aksi-aksi kekerasan, radikalisme adalah barang halal. Sedang aksi-aksi teroris, yang inheren di dalamnya unsur penggunaan kekerasan, dengan sendirinya jelas haram. Tapi radikalisme terkait dengan terorisme dalam beberapa segi. Pertama, terlepas dari beragamnya sebab, motif, dan ideologi di balik aksi-aksi teroris, semua upaya mencapai tujuan dengan cara-cara kekerasan terhadap warga sipil, apalagi aparat keamanan, selalu mengandung unsur radikalisme.

Dalam kasus MS, boleh jadi dia gila, seperti dikatakan Ba'asyir. Tapi bukankah diperlukan "kegilaan"tertentu untuk sampai pada kesimpulan bahwa yang dijadikan korbannya adalah masjid, atau polisi, atau jemaah yang sedang salat? Juga untuk pada kenyataannya melakukannya sendiri? Semua ini memerlukan pemikiran, sikap, dan perbuatan radikal, yang tak semua orang memilikinya.

Kedua, memang tak ada yang niscaya dalam transisi seseorang dari radikalisme ke terorisme. Dan, ya, tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai teroris. Contoh-contoh yang kita kenal baik, bahkan studi yang serius, menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada kenyataannya berakhir menjadi teroris.

Ini karena, untuk berhasil, dari potensial menuju aktual, aksi-aksi teroris juga bergantung pada faktor-faktor di luar diri sang teroris sendiri atau jaringannya, misalnya sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah "disengagement": fakta bahwa seseorang menghindar dari melakukan aksi-aksi teroris karena dia tidak "mampu", bukan tidak "mau", melakukannya. Di sini, isi pikiran sang teroris tetap sama, tapi hal itu tidak berujung pada perbuatan teroris.

Tapi semua ini tak menutup fakta yang sangat jelas bahwa semua teroris, per definisi, tak mungkin tumbuh kecuali dari orang-orang yang radikal. Banyak data yang memperlihatkan bahwa para teroris memulai "karier"individualnya, dalam melakukan aksi-aksi kekerasan ekstremis, dengan pertama-tama menjadi seseorang yang radikal dan militan. Alasan inilah yang selalu mendorong kita untuk melihat latar belakang sejarah kehidupan seseorang yang terlibat dalam aksi-aksi teroris.

Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam diri MS. Selain ayahnya sendiri dikafirkan dan karenanya dia bersyukur bahwa MS segera mati, MS sendiri dikenal sebagai seseorang yang radikal dan militan dalam merealisasi apa yang ada dalam pikirannya. Media massa kita punya rekaman yang cukup lengkap tentang bagaimana dia bertindak begitu brutal dalam berbagai aksi untuk membela kepentingannya, misalnya dalam aksi-aksi anti-Ahmadiyah. Bukankah fakta ini begitu jelas untuk kita sangkal?

Akhirnya, alasan ketiga, baik radikalisme maupun terorisme terkait dengan masyarakat. Inilah dimensi sosial keduanya. Bedanya: sementara ada masyarakat-masyarakat yang radikal, tapi tidak ada masyarakat-masyarakat teroris. Sekalipun demikian, aksi-aksi teroris mudah sekali tumbuh di dalam masyarakat-masyarakat yang radikal, di mana aksi-aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi juga dukungan.

Bagaimana menjelaskan aksi MS di Cirebon dari segi ini? Saya tak punya jawaban pasti. Tapi data Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dirilis Maret 2005, menyatakan bahwa 1 dari 10 muslim Indonesia mendukung aksi pengeboman yang dilakukan Amrozi dan kawan-kawannya di Bali dulu. Bagi peneliti LSI, itu mencerminkan dukungan kepada "radikalisme keagamaan ketika diterjemahkan ke dalam cara kekerasan demi agama".

Data lebih baru diperoleh dari survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 1.600-an siswa dan guru agama Islam di SMP dan SMA muslim di Jabodetabek, yang dilakukan dari Oktober 2010 hingga Januari 2011. Hasilnya, 41,8 hingga 63,8 persen responden menyatakan mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non-muslim.

Seriuslah
Bagi saya, angka-angka di atas adalah alarm agar kita bangun dan waspada. Jangan bilang bahwa itu adalah data lama. Atau bahwa survei itu hanya dilakukan di Jabodetabek. Data itu menunjukkan bahwa ada atmosfer radikalisme di sini, ada kasus-kasus di mana jalan seseorang dari radikal menjadi teroris dipuji, dan kita rupanya memiliki kantong-kantong masyarakat radikal yang mendukung aksi-aksi teroris.

Mari kita sungguh-sungguh menyikapi penyakit ini dengan berhenti berpikir bahwa situasinya normal belaka. Tidak diperlukan banyak MS untuk mengganggu kebersamaan kita di negeri ini. Dan jalan menuju lahirnya MS-MS lain rupanya tidak terlalu asing di sini.